Senin, 29 Oktober 2012

Fenomena Industri buku di Indonesia




            Tren industri buku Indonesia makin tumbuh. Hal ini menandakan budaya membaca juga boleh dibilang meningkat. Sebagai contohnya, penerbit Gramedia, menurut Managing Director Penerbit Gramedia, jaringan Toko Buku Gramedia, pada tahun 2011, telah menerbitkan 20.000 judul buku—meliputi semua bidang, seperti fiksi dan non-fiksi, buku anak-anak sampai dewasa maupun manula.
 
            Akan tetapi bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa, jumlah peredaran buku tersebut masih dibilang kecil. Jumlah itu hanya setara maupun sedikit lebih baik ketimbang Malaysia dan Vietnam. Kalau dibandingkan dengan negara kecil tapi maju seperti Jepang, angka itu memalukan, sebab 15 tahun yang lalu saja, (1997) Jepang menerbitkan sekitar 100.000 judul. Sementara, dari 20.000 judul itu, sekitar 48 persen buku terjemahan; 52 persen dari dalam negeri atau sekitar 10.400 judul dari Indonesia.
            Dari hasil penjualan di Gramedia, buku yang bersifat menghibur merupakan sasaran empuk para konsumen, terutama buku kategori teenlit (bacaan anak-anak umur belasan) dan metropop. Sementara itu,  buku-buku yang menjanjikan masa depan yang lebih baik, buku-buku pengembangan diri, rata-rata terjual sekitar 10.000 – 15.000 eksemplar setahun. Buku kebudayaan, sastra, sejarah, filsafat adalah buku-buku yang berat sekali penjualannya biasanya kurang dari 2.000 setahun sudah, kecuali kalau digunakan sebagai buku ajar di sekolah atau perguruan tinggi.
            Bisa dikataka minat baca di Indonesia hanya sekedar untuk hiburan, bukan untuk menambah ilmu. Ini cukup miris di saat Negara lain berbondong-bondong mencerdaskan masyarakatnya melalui buku. Hal inilah yang menjadikan penerbit dan penulis harus menyesuaikan selera pasar dengan buku yang akan di terjunkan di pasaran. Bila terus menerus begitu, kita bukanlah masyarakat pebelajar lagi melainkan masyarakat pengkhayal yang selalu di suguhkan oleh cerita fiktif.
            Dari segi teknologi, ada tran baru dalam dunia perbukuan yaitu E-book. Kemunculan e-book sebagai perkembangan mutakhir fenomena perbukuan, cukup menimbulkan keresahan dalam industri penerbitan buku (print book/buku fisik). Maraknya e-book membuat banyak buku dianeksasi oleh teknologi masuk ke dalam 'gadget' (perangkat komputer-internet). Dengan teknologi ini, buku tidak lagi berbentuk fisik tetapi menjadi soft file yang lebih memudahkan bagi konsumen untuk menggunakannya secara cepat dan mudah. Karena perkembangan e-book yang lebih praktis, mudah dan murah tersebut maka semakin banyak konsumen buku beralih menggunakannya. Memang hal ini cukup menjadi tantangan berat bagi penerbit, yang kemudian harus menyusun strategi dalam mengatur terbitannya. Sebab kendati e-book begitu menggejala, masih ada sebagian orang yang tetap lebih senang mengoleksi buku fisik (print book).
            Fenomena e-book juga memunculkan buku-buku gratis yang jumlahnya ratusan ribu judul yang dapat diperoleh dengan mudah melalui mekanisme download langsung di internet. Bahkan sebagian lainnya juga menyediakan mekanisme pemasaran atau penjualan buku dengan transaksi secara langsung via internet yang kini sudah mulai digemari banyak orang. Namunpun begitu, buku-buku tersebut kebanyakan masih berupa buku-buku ringan seperti buku resep masakan. Dengan kata lain belum merupakan buku-buku referensi yang serius, yang sebenarnya secara luas juga bisa di-download secara mudah dan gratis. Tetapi seiring perkembangannya sangat mungkin buku-buku serius/referensi pun akan dibajak oleh mekanisme online tersebut.
            Gejala transformasi perbukuan dari industri cetak ke elektronik ini memang melaju cepat karena adanya kemampuan memberikan berbagai kemudahan. Karena, selain menyediakan buku elektronik, juga disajikan sejenis program yang dapat menciptakan industri perbukuan online 'milik sendiri' – dimana hanya dengan satu orang dapat berperan menjadi penulis, editor dan layouter, sekaligus juga dapat mencetak atau menjual via internet. Program ini melahirkan banyak pemain-pemain baru dalam industri perbukuan yang bekerja di dunia maya dengan tidak menggunakan banyak instrumen penerbitan fisik.
            Walaupun tantangan teknologi semakin berat, usaha penerbitan (print book) dilihat masih akan tetap eksis disebabkan teknologi online sangat tergantung pada infrastruktur tertentu, yakni jaringan internet. Saat ini dapat dipastikan tidak semua daerah sudah memiliki jaringan internet yang lancar, atau bahkan mungkin sebagian belum mampu menggunakan teknologi tersebut. Selain itu, media ini pun disinyalir memiliki produk yang tidak jelas, seperti e-book yang tidak mempunyai kejelasan jumlah halaman yang menyulitkan bagi konsumen, sehingga print-book masih dipercaya sebagai produk buku yang terjamin. Dengan demikian, menjadi terlalu berlebihan jika fenomena perkembangan teknologi ini dikhawatirkan, apalagi sampai menciptakan pesimisme.
            Dari segi kebijakan pemerintah, realitas industri perbukuan nampak berjalan sendiri tanpa adanya perhatian pemerintah. Hingga saat ini, belum pernah ada payung undang-undang yang mengatur tentang industri perbukuan yang dapat memberi kenyamanan dalam menjalankan usahanya. Dibandingkan bidang usaha lainnya, Kebijakan yang mengatur industri perbukuan hampir jarang terdengar akan diagendakan dalam forum legislatif. Padahal IKAPI telah mengusulkan RUU Industri Perbukuan agar jejaring yang selama ini tidak jelas dapat diatur dengan tidak ada lagi pihak yang mesti menanggung konsekuensi yang besar. Ada kemungkinan tidak teragendanya RUU tersebut berkaitan dengan adanya logika transaksional sehingga titik terang RUU perbukuan terlunta-lunta hingga kini.
IKAPI sudah mendorong supaya dalam konteks kebijakan RUU perbukuan dapat memperhatikan fenomena perbukuan yang berkembang. Namun lagi-lagi usulan konsep ini sering melenceng dalam konsep pemerintah yang hanya mengaitkannya dengan buku-buku ajar (pelajaran). Padahal dalam banyak momen, para politisi juga birokrasi seringkali membutuhkan industri buku untuk menampilkan pengaruhnya ke publik . Dalam versi Konkernas IKAPI dikatakan bahwa dalam setahun terdapat dana pemerintah sekitar 11 Trilyun untuk konsumsi buku nasional. Tetapi dalam penggunaannya, 70 – 80% dana tersebut adalah buku-buku proyek, dimana yang bisa menerbitkannya hanya yang dekat dengan sumber dana (pemerintah) atau memiliki lobi-lobi dengan penguasa. Lalu sisanya yang hanya 30% (untuk terbitan biasa) baru diberikan kepada sekian ratus penerbit. Dengan situasi ini, tidak ada ruang bagi penerbit untuk berkembang. Terlebih dengan tidak adanya kebijakan yang mengaturnya.
Banyaknya kendala dan fenomena yang terjadi dalam indutri buku di Indonesia seharusnya menjadi bahan evaluasi para penerbit dan terutama pemerintah dalam menggalakkan minat baca dan distribusi buku di Indonesia. Kejelasan regulasi dalam industry buku patutnya menjadi acuan bagi penebit. Semoga hal ini tidak berkelanjutan hingga buku tidak lagi diminati oleh masyarakat.

Sumber:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar