Tren industri buku Indonesia makin
tumbuh. Hal ini menandakan budaya membaca juga boleh dibilang meningkat. Sebagai
contohnya, penerbit Gramedia, menurut Managing Director Penerbit Gramedia,
jaringan Toko Buku Gramedia, pada tahun 2011, telah menerbitkan 20.000 judul
buku—meliputi semua bidang, seperti fiksi dan non-fiksi, buku anak-anak sampai
dewasa maupun manula.
Akan tetapi bila dibandingkan dengan
jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa, jumlah peredaran buku
tersebut masih dibilang kecil. Jumlah itu hanya setara maupun sedikit lebih
baik ketimbang Malaysia dan Vietnam. Kalau dibandingkan dengan negara kecil
tapi maju seperti Jepang, angka itu memalukan, sebab 15 tahun yang lalu saja,
(1997) Jepang menerbitkan sekitar 100.000 judul. Sementara, dari 20.000 judul
itu, sekitar 48 persen buku terjemahan; 52 persen dari dalam negeri atau
sekitar 10.400 judul dari Indonesia.
Dari hasil penjualan di Gramedia,
buku yang bersifat menghibur merupakan sasaran empuk para konsumen, terutama
buku kategori teenlit (bacaan anak-anak umur belasan) dan metropop. Sementara
itu, buku-buku yang menjanjikan masa depan yang lebih baik, buku-buku
pengembangan diri, rata-rata terjual sekitar 10.000 – 15.000 eksemplar setahun.
Buku kebudayaan, sastra, sejarah, filsafat adalah buku-buku yang berat sekali
penjualannya biasanya kurang dari 2.000 setahun sudah, kecuali kalau digunakan
sebagai buku ajar di sekolah atau perguruan tinggi.
Bisa dikataka minat baca di Indonesia
hanya sekedar untuk hiburan, bukan untuk menambah ilmu. Ini cukup miris di saat
Negara lain berbondong-bondong mencerdaskan masyarakatnya melalui buku. Hal inilah
yang menjadikan penerbit dan penulis harus menyesuaikan selera pasar dengan
buku yang akan di terjunkan di pasaran. Bila terus menerus begitu, kita
bukanlah masyarakat pebelajar lagi melainkan masyarakat pengkhayal yang selalu
di suguhkan oleh cerita fiktif.
Dari segi teknologi, ada tran baru dalam dunia perbukuan
yaitu E-book. Kemunculan
e-book sebagai perkembangan mutakhir fenomena perbukuan, cukup menimbulkan
keresahan dalam industri penerbitan buku (print book/buku fisik). Maraknya
e-book membuat banyak buku dianeksasi oleh teknologi masuk ke dalam 'gadget'
(perangkat komputer-internet). Dengan teknologi ini, buku tidak lagi berbentuk
fisik tetapi menjadi soft file yang lebih memudahkan bagi konsumen untuk
menggunakannya secara cepat dan mudah. Karena perkembangan e-book yang lebih
praktis, mudah dan murah tersebut maka semakin banyak konsumen buku beralih
menggunakannya. Memang hal ini cukup menjadi tantangan berat bagi penerbit,
yang kemudian harus menyusun strategi dalam mengatur terbitannya. Sebab kendati
e-book begitu menggejala, masih ada sebagian orang yang tetap lebih senang
mengoleksi buku fisik (print book).
Fenomena e-book juga memunculkan
buku-buku gratis yang jumlahnya ratusan ribu judul yang dapat diperoleh dengan
mudah melalui mekanisme download langsung di internet. Bahkan sebagian lainnya
juga menyediakan mekanisme pemasaran atau penjualan buku dengan transaksi
secara langsung via internet yang kini sudah mulai digemari banyak orang.
Namunpun begitu, buku-buku tersebut kebanyakan masih berupa buku-buku ringan
seperti buku resep masakan. Dengan kata lain belum merupakan buku-buku
referensi yang serius, yang sebenarnya secara luas juga bisa di-download secara
mudah dan gratis. Tetapi seiring perkembangannya sangat mungkin buku-buku
serius/referensi pun akan dibajak oleh mekanisme online tersebut.
Gejala transformasi perbukuan dari
industri cetak ke elektronik ini memang melaju cepat karena adanya kemampuan
memberikan berbagai kemudahan. Karena, selain menyediakan buku elektronik, juga
disajikan sejenis program yang dapat menciptakan industri perbukuan online
'milik sendiri' – dimana hanya dengan satu orang dapat berperan menjadi
penulis, editor dan layouter, sekaligus juga dapat mencetak atau menjual via
internet. Program ini melahirkan banyak pemain-pemain baru dalam industri
perbukuan yang bekerja di dunia maya dengan tidak menggunakan banyak instrumen
penerbitan fisik.
Walaupun tantangan teknologi semakin
berat, usaha penerbitan (print book) dilihat masih akan tetap eksis disebabkan
teknologi online sangat tergantung pada infrastruktur tertentu, yakni jaringan
internet. Saat ini dapat dipastikan tidak semua daerah sudah memiliki jaringan
internet yang lancar, atau bahkan mungkin sebagian belum mampu menggunakan
teknologi tersebut. Selain itu, media ini pun disinyalir memiliki produk yang
tidak jelas, seperti e-book yang tidak mempunyai kejelasan jumlah halaman yang
menyulitkan bagi konsumen, sehingga print-book masih dipercaya sebagai produk
buku yang terjamin. Dengan demikian, menjadi terlalu berlebihan jika fenomena
perkembangan teknologi ini dikhawatirkan, apalagi sampai menciptakan pesimisme.
Dari segi kebijakan pemerintah, realitas
industri perbukuan nampak berjalan sendiri tanpa adanya perhatian pemerintah. Hingga
saat ini, belum pernah ada payung undang-undang yang mengatur tentang industri
perbukuan yang dapat memberi kenyamanan dalam menjalankan usahanya.
Dibandingkan bidang usaha lainnya, Kebijakan yang mengatur industri perbukuan
hampir jarang terdengar akan diagendakan dalam forum legislatif. Padahal IKAPI
telah mengusulkan RUU Industri Perbukuan agar jejaring yang selama ini tidak
jelas dapat diatur dengan tidak ada lagi pihak yang mesti menanggung
konsekuensi yang besar. Ada kemungkinan tidak teragendanya RUU tersebut
berkaitan dengan adanya logika transaksional sehingga titik terang RUU
perbukuan terlunta-lunta hingga kini.
IKAPI
sudah mendorong supaya dalam konteks kebijakan RUU perbukuan dapat
memperhatikan fenomena perbukuan yang berkembang. Namun lagi-lagi usulan konsep
ini sering melenceng dalam konsep pemerintah yang hanya mengaitkannya dengan
buku-buku ajar (pelajaran). Padahal dalam banyak momen, para politisi juga
birokrasi seringkali membutuhkan industri buku untuk menampilkan pengaruhnya ke
publik . Dalam versi Konkernas IKAPI dikatakan bahwa dalam setahun terdapat
dana pemerintah sekitar 11 Trilyun untuk konsumsi buku nasional. Tetapi dalam
penggunaannya, 70 – 80% dana tersebut adalah buku-buku proyek, dimana yang bisa
menerbitkannya hanya yang dekat dengan sumber dana (pemerintah) atau memiliki
lobi-lobi dengan penguasa. Lalu sisanya yang hanya 30% (untuk terbitan biasa)
baru diberikan kepada sekian ratus penerbit. Dengan situasi ini, tidak ada
ruang bagi penerbit untuk berkembang. Terlebih dengan tidak adanya kebijakan
yang mengaturnya.
Banyaknya
kendala dan fenomena yang terjadi dalam indutri buku di Indonesia seharusnya
menjadi bahan evaluasi para penerbit dan terutama pemerintah dalam menggalakkan
minat baca dan distribusi buku di Indonesia. Kejelasan regulasi dalam industry buku
patutnya menjadi acuan bagi penebit. Semoga hal ini tidak berkelanjutan hingga
buku tidak lagi diminati oleh masyarakat.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar